“Suatu malam… dengan mengendarai buraq Nabi Muhammad diperjalankan dari Mesjid al-Haram di Mekah ke Mesjid al-Aqsha di Palestina dan kemudian diterbangkan Tuhan ke langit untuk menerima perintah shalat. Perintah shalat awalnya lima puluh waktu dalam sehari semalam, oleh Nabi Muhammad ditawar berkali-kali sehingga akhirnya cukup lima waktu saja dalam sehari semalam”.
Kisah di atas sudah tidak asing lagi bagi kita yang lahir dan dibesarkan sebagai seorang beragama Islam. Sejak kanak-kanak cerita tersebut sudah disampaikan oleh para pengajar agama di sekolah, di madrasah, maupun di mesjid.
Baiklah, masa kanak-kanak sudah berlalu, sekarang waktunya bersikap kritis atas suatu informasi alih-alih langsung menelannya begitu saja.
Sebelum Anda menjawab pertanyaan yang sekaligus menjadi judul tulisan ini, saya ingin mengajak Anda menelusuri tujuh butir ulasan berkaitan dengan mi’raj.
Pertama, al-Qur’an tidak pernah menyebut kata “mi’raj” dalam kaitannya dengan kisah isra’ Nabi Muhammad. Kata “buraq” malah tidak ada sama sekali di dalam al-Qur’an. Dua hal penting yang melengkapi cerita tentang isra’ mi’raj tersebut seharusnya ada di dalam al-Qur’an bila memang cerita isra’ mi’raj sebagaimana yang dikisahkan benar-benar pernah terjadi.
Al-Qur’an hanya memuat kisah tentang seorang hamba-Nya yang diperjalankan oleh Allah pada malam hari dari Mesjid al-Haram ke Mesjid al-Aqsha tanpa ada embel-embel terbang ke langit.
“Tersanjunglah Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami…” (Q.S. 17:1)
Sulit diterima kalau momen “terbang ke langit” ini luput dalam Kitab-Nya yang lengkap dan terperinci, di lain pihak peristiwa isra’ dinyatakan dengan begitu jelas.
Ke dua, terdapat penjelasan yang tidak logis berkaitan dengan urutan cerita isra’ mi’raj ini. Disebutkan di dalam suatu riwayat oleh Ibnu Ishak bahwa Nabi Muhammad mi’raj setelah sebelumnya beliau menunaikan shalat Isya. Pada riwayat lain disebutkan pada saat setelah shalat Shubuh. Bagaimana mungkin beliau melakukan shalat sedangkan perintah shalat “katanya” baru akan dijemput ke langit?
Ke tiga, Allah di dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa lamanya perjalanan malaikat maupun ruh kepada-Nya adalah satu hari yang ukurannya setara dengan lima puluh ribu tahun waktu manusia.
“Kepada-Nya malaikat-malaikat dan ruh naik dalam sehari yang ukurannya lima puluh ribu tahun.” (Q.S. 70:4)
Jadi, kalau benar Nabi telah naik ke langit pada 1400 tahun yang lalu maka beliau baru akan landing ke bumi ini 48.600 tahun lagi…
Ke empat, mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah ke Mesjid al-Aqsha yang di Palestina adalah tidak logis. Faktanya, Mesjid al-Aqsha yang berada di Palestina itu baru dibangun oleh Amir Abdul Malik pada tahun 715/68H, yang berarti 58 tahun setelah wafatnya Nabi. Penamaan ‘al-Aqsha’ itu sendiri terinspirasi oleh ayat al-Qur’an tentang isra’.
Kata “Mesjid al-Aqsha” secara harfiah berarti “mesjid yang lebih jauh”. Pada masa Nabi ada dua buah mesjid yang biasa disebut “mesjid yang lebih jauh”, satu berada di kota Madinah dan satu lagi berada di kota Jirana.
Kepastian bahwa isra’ Nabi bukan ke Palestina dibuktikan pula dengan kondisi Palestina yang tidak berhenti dari carut marut peperangan hingga hari ini. Kondisi kota Palestina ini tidak sejalan dengan firman Allah yang mengatakan telah memberkahi sekeliling Mesjid al-Aqsha.
“Tersanjunglah Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami….” (Q.S. 17:1)
Ke lima, ketika rasulullah Muhammad ditantang untuk naik ke langit, beliau mengingatkan yang menantangnya bahwa beliau hanyalah seorang manusia. Jawaban tersebut menegaskan kemustahilan manusia untuk naik ke langit.
”’Atau, sehingga kamu mempunyai sebuah rumah dari perhiasan emas, atau sehingga kamu naik ke langit; dan kami tidak akan percaya kenaikan kamu sehingga kamu menurunkan kepada kami sebuah kitab supaya kami membacanya.’ Katakanlah, ’Pemeliharaku disanjung! Tidakkah aku hanya seorang manusia, seorang rasul?” (Q.S. 17:93)
Ke enam, sesungguhnya perintah shalat bukanlah hal baru. Praktik shalat sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad. Apabila kita menyimak kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Nuh, Nabi Syuaib, dan Nabi Isa di dalam al-Qur’an, dengan jelas diketahui bahwa nabi-nabi tersebut pun menjalankan perintah shalat.
Tidak ada yang berbeda dari perintah shalat itu, sejak Nabi Ibrahim pun gerakannya adalah berdiri, ruku’, sujud. Nabi Muhammad pun diperintahkan Allah untuk mengikuti Nabi Ibrahim, karenanya tidak ada bagian shalat yang masih perlu ‘dijemput ke langit’ oleh Nabi Muhammad.
”Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ’Ikutilah tuntunan Ibrahim, seorang yang lurus, dan bukan orang yang menyekutukan’.” (Q.S. 16:123)
Ke tujuh, adegan tawar menawar antara Nabi Muhammad dan Allah berkenaan dengan frekuensi shalat dalam sehari semalam adalah sebuah adegan yang tidak masuk logika keberTuhanan.
Allah Maha Tahu, Dia tidak butuh dikoreksi berkali-kali oleh seorang nabi agar perintah-Nya sesuai dengan batas kemampuan manusia. Lagi pula Allah telah berjanji untuk tidak akan membebani manusia melampaui kesanggupannya.
Dan adalah tidak mungkin perintah Allah dapat ditawar-tawar sebagaimana cerita di dalam isra’ mi’raj. Bahwa perintah Tuhan tidak bisa ditawar-tawar dapat kita ketahui dari kisah Nabi Ibrahim yang khawatir tentang keadaan Nabi Luth sewaktu Allah akan menurunkan azab kepada kaum Nabi Luth.
Nabi Ibrahim mencoba berargumentasi atas rencana Allah tersebut. Apa kemudian jawaban Allah?
“Wahai Ibrahim, berpalinglah dari ini. Sesungguhnya telah datang ketetapan Rabb kamu, dan sesungguhnya mereka akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” (Q.S. 11:76)
Pengaruh Bible
Memperhatikan adegan tawar-menawar perintah Tuhan yang ada di dalam cerita isra’ mi’raj maka ada kemungkinan pengarang hadits di atas mendapatkan inspirasi dari Bible karena di dalam Bible lah terdapat dialog yang menceritakan bahwa ketetapan Tuhan dapat ditawar sampai berkali-kali oleh seorang nabi.
Tawar menawar yang tertulis di dalam Bible berkaitan dengan rencana penjatuhan azab atas kaum Nabi Luth sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Apabila dalam kisah versi al-Qur’an argumentasi Nabi Ibrahim ditolak mentah-mentah, maka pada versi Bible Tuhan mengatakan bahwa azab akan dibatalkan bila di kalangan kaum Nabi Luth ada lima puluh orang yang beriman.
Syarat lima puluh orang yang beriman ini kemudian ditawar berkali-kali oleh Nabi Ibrahim, sehingga akhirnya Tuhan menurunkan syarat pembatalan azab-Nya menjadi cukup dengan berimannya sepuluh orang kaum Nabi Luth
Abraham datang mendekat dan berkata: “Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? (Kej. 18:23)
Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? (Kej. 18:24)
Tuhan berfirman: “Jika Ku dapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka.” (Kej. 18:26)
Abraham menyahut: ”Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu. (Kej. 18:27)
Sekiranya kurang lima orang dari ke lima puluh orang benar itu, apakah Engkau akan memusnahkan seluruh kota itu karena yang lima itu?” Firman-Nya: “Aku tidak memusnahkannya, jika Kudapati empat puluh lima di sana.” (Kej. 18:28)
Lagi Abraham melanjutkan perkataannya kepada-Nya: “sekiranya empat puluh didapat di sana?” FirmanNya: “Aku tidak akan berbuat demikian karena yang empat puluh itu.” (Kej. 18:29)
Katanya: “Janganlah kiranya Tuhan murka kalau aku berkata sekali lagi. Sekiranya tiga puluh didapati di sana?” FirmanNya: “Aku tidak akan berbuat demikian, jika Kudapati tiga puluh di sana.” (Kej. 18:30)
Katanya: “Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan. Sekiranya dua puluh didapati di sana?” FirmanNya: “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang dua puluh itu.” (Kej. 18:31)
Katanya: “Janganlah kiranya Tuhan murka, kalau aku berkata sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?” FirmanNya: “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu.” (Kej. 18:32)
Jadi bagaimana menurut Anda? Fakta, atau… fiksi?
Februari 26, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar