Sungguh memprihatinkan jika melihat kondisi masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Beragam persoalan datang silih berganti seakan tiada henti. Mulai dari permasalahan ekonomi, seperti inflasi yang tinggi, harga-harga bahan makanan yang naik, upah riil yang menurun, angka pengangguran yang masih tinggi, dan tingkat kemiskinan yang juga masih belum dapat dikurangi secara signifikan.
Kemudian, masalah politik, seperti konflik pilkada berkepanjangan di sebuah provinsi di wilayah timur Indonesia yang berpotensi menciptakan konflik horizontal yang lebih luas. Belum lagi, dengan kondisi global yang mengancam kepentingan bangsa, seperti tingginya harga minyak dunia yang sudah mencapai angka 115 dolar AS per barel, krisis pangan dunia, dan ancaman resesi global akibat krisis kredit perumahan rakyat di AS.
Selain itu, di antara masalah yang sangat berat menimpa umat Islam adalah munculnya beragam aliran sesat dan menyesatkan, yang berusaha melemahkan akidah dan keyakinan terhadap kebenaran ajaran Islam. Jika dibiarkan aliran-aliran seperti itu, akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Umat Islam akan kehilangan pegangan dan arah.
Setiap orang akan memiliki kebebasan untuk menafsirkan, menginterpretasikan ajaran agama, dan membuat fatwa sesuai dengan logika pemahaman dan kepentingannya, meskipun tanpa memiliki dasar ilmu yang mencukupi.
Pantaslah jika Rasulullah SAW telah mengingatkannya dalam sebuah hadis bahwa sumber penyakit kronis agama itu ada tiga, yaitu penguasa yang zalim, ulama yang buruk, dan mujtahid yang bodoh namun suka berfatwa (HR Daelami dari Ibn Abbas).
Berkembangnya aliran sesat akibat kebodohan terhadap ajaran agama ini tidak boleh dibiarkan. Perlu ada tindakan tegas secara hukum agar keberadaan aliran-aliran sesat itu dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Bentuk-bentuk aliran sesat
Secara umum, aliran sesat yang ditinjau dari aktivitasnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, aliran sesat yang berupa gerakan bersifat pemikiran. Kedua, aliran sesat yang tidak hanya berhenti pada tataran pemikiran, namun telah berhimpun dalam sebuah organisasi yang lebih sistematis, yang memiliki jaringan dan struktur yang jelas, dan memiliki mekanisme rekrutmen anggota yang tertata dengan baik.
Sering kali kelompok yang kedua ini membentuk sebuah komunitas tersendiri yang bersifat sangat eksklusif dan terpisah dari komunitas umat Islam yang lain. Kelompok pertama didominasi oleh berbagai pemikiran yang mencoba untuk mendekonstruksi ajaran Islam yang sudah bersifat final, termasuk mengkritisi segala hal yang telah menjadi prinsip pokok dalam ajaran Islam. Misalnya, dengan berbagai dalih dan argumentasi, mereka menolak keyakinan bahwa ajaran Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan sempurna di sisi Allah SWT, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 5 : 3.
Bagi mereka, semua agama tidak ada bedanya karena bersumber dari Tuhan yang sama. Akibatnya, muncullah paham pluralisme agama yang melahirkan konsep relativisme agama. Kebenaran agama menjadi sesuatu yang bersifat relatif dan tidak mutlak. Pemikiran merusak dan berbahaya semacam ini sudah masuk ke berbagai kalangan dan kelompok, yang ujungnya akan menimbulkan keraguan dalam beragama (tasykik).
Meski demikian, bukan berarti ajaran Islam tidak mengakui adanya kemajemukan atau pluralitas. Pluralitas merupakan sesuatu yang bersifat sunatulah, sehingga menolak keberadaannya pada hakikatnya sama dengan menolak kebenaran hukum Allah. Dalam QS 49 : 13 misalnya, Allah SWT secara tegas menyatakan manusia itu diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan tujuan untuk saling mengenal.
Begitu pula dengan perbedaan, di mana ia merupakan bagian dari sunatulah. Namun demikian, menyamakan sesuatu yang jelas-jelas secara diametral berbeda juga merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan sunatulah. Karena, hanya akan menciptakan ketegangan dan konflik. Yang harus dikembangkan adalah sikap untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.
Bahwa, setiap agama berbeda merupakan fakta kehidupan yang nyata. Menyamakan semua agama justru akan menjadi tindakan yang kontraproduktif. Karena, hanya akan menimbulkan gejolak negatif di tengah masyarakat. Selanjutnya, pada kelompok aliran sesat yang kedua, selain membentuk komunitas yang sangat eksklusif, mereka juga sering membuat aturan-aturan dan doktrin ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Misalnya, tidak boleh menikah dengan umat Islam di luar komunitasnya, karena mereka menganggap bahwa umat Islam di luar komunitasnya adalah kafir dan sesat.
Kemudian, pada beberapa kelompok, untuk melegitimasi para pendiri dan pemimpinnya, dimunculkan pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW bukan merupakan nabi dan rasul terakhir. Sehingga, para pemimpin tersebut dapat dengan leluasa mengklaim dirinya sebagai utusan Allah. Padahal, hal tersebut jelas-jelas melanggar firman Allah dalam QS 33 : 41 yang menegaskan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai khataman nabiyyin wal mursalin (penutup para nabi dan rasul).
Di antara kelompok yang termasuk dalam kategori ini adalah Ahmadiyah, yang hingga saat ini tidak menunjukkan itikad baik untuk melaksanakan 12 butir penjelasan Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab.
Dua solusi
Untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh berbagai aliran sesat tersebut, ada dua langkah solusi yang dapat dilakukan. Pertama, hendaknya pemerintah dan masyarakat merujuk pada fatwa MUI dalam menilai sesat tidaknya sebuah aliran keagamaan. Karena, MUI merupakan wadah representatif para ulama yang berasal dari berbagai ormas keagamaan yang berbeda-beda.
Kedua, perlunya tindakan tegas secara hukum dari pemerintah. Pemerintah tidak perlu ragu untuk membubarkan kelompok-kelompok aliran sesat yang ada. Bagaimanapun, kehormatan dan kemuliaan agama harus dilindungi. Insya Allah, umat dan masyarakat akan senantiasa mendukung kebijakan tersebut. Wallahu'alam.
Oleh : KH Didin Hafidhuddin
Juni 06, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar