Desember 07, 2008
Makna Kurban
Menurut para ahli hukum Islam, hukum ibadah kurban adalah sunnah muakkadah. Artinya amat dianjurkan bagi orang Muslim yang mampu. Mampu di sini, tidak identik dengan kaya. Menurut madzhab Syafi'i, bila seorang masih mempunyai sejumlah uang di luar kebutuhan dan biaya hidupnya pada hari raya dan tiga hari berikutnya (Ayam al-Tsyriq), maka telah berlaku baginya anjuran berkurban. (Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-Arba'ah, 1/716. Ibadah ini mulai diperintahkan oleh Allah swt pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan perintah salat hari raya, zakat mal, dan zakat fitrah.
Rasulullah saw sendiri, seperti disebut dalam banyak hadis, melaksanakan ibadah kurban dengan menyembelih dua ekor kambing. (H.R. Bukhari). Beliau menyembelih sendiri kurbannya itu dengan membaca Basmalah dan Takbir, sambil berkata, ''Hadza 'Anni wa 'Amman Lam Yudhahhi min Ummati (Kurban ini dari-ku (Muhammad saw) dan dari orang yang tak mampu berkurban dari ummat-ku). (H.R. Abu Daud).
Ibadah kurban, seperti halnya ibadah haji, bersifat simbolik. Di dalamnya, terkandung beberapa makna spiritual yang amat dalam.
Pertama, ia merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. Sebagai ungkapan syukur, maka bacaan takbir ketika menyembelih hewan kurban itu, tulis pakar tafsir Abdullah Yusuf Ali, justru lebih penting dari pada penyembelihan kurban itu sendiri. (The Holy Qur'an: Translation and Commentary, No.2810).
Kedua, kurban adalah ungkapan cinta kasih dan simpatik kepada kaum lemah. Dikatakan demikian, karena ibadah kurban tak sama dengan upacara persembahan dalam agama-agama lain. Hewan kurban tidak dibuang di altar pemujaan dan tidak pula dihanyutkan di air sungai. Daging kurban itu justru untuk dinikmati oleh pelaku ibadah kurban itu sendiri dan orang-orang miskin di sekitarnya. Allah berpesan, ''Lalu makanlah sebagian dari dagingnya dan beri makanlah (dengan bagian yang lainnya) orang fakir yang sengsara.'' (al-Haj, 28).
Ketiga, kurban adalah simbol dari kesediaan kita untuk melawan dan mengenyahkan segala sesuatu yang akan menjauhkan diri kita dari jalan Allah swt. Sesuatu itu, bisa berupa harta dan kekayaan kita, kedudukan dan pekerjaan kita, atau apa saja yang membuat kita tak sanggup berkata benar.
Karena itu, kurban dapat pula disebut sebagai simbol dari kemenangan kita melawan hawa nafsu kita sendiri. Dari sini kita dapat memahami bahwa ibadah kurban pada hakikatnya adalah komitmen kita untuk senantiasa menuhankan Allah, bukan menuhankan hawa nafsu kita sendiri, serta kesediaan kita untuk berbagai rasa dengan sesama manusia, terutama kaum lemah. Komitmen inilah yang akan membawa kita meraih perkenan dari ridha Allah, bukan darah dan daging kurban itu sendiri. Allah berfirman. ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya. (Al-Haj, 37).
Haji dan Kelestarian Alam
Ibadah haji sebenarnya juga ibadah tentang kelestarian alam. Sabda Nabi yang dikutip itu -- hadis riwayat Al Hakim -- hingga kini diteladani para jemaah haji. Dahulu, selama menunaikan ibadah haji, Rasulullah juga menyempatkan diri untuk melihat-lihat pemandangan yang hijau, terdiri dari pohon-pohon kurma, dengan sungai yang jernih mengalir, atau oase. Sekarang, jika ibadah telah selesai, ada saja rombongan yang berpiknik ke oase. Kita mandi-mandi di oase yang tentu saja tidak dalam, dengan pakaian lengkap, sambil bersirat-siratan air yang jernih tak ternoda sedikit pun. Para jemaah pada berseru satu sama lain dengan julukan baru: ''He, Haji! He, Hajah!'' dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Meski bergembira, kita juga berdisiplin. Semua kegiatan piknik itu tetap menjaga kelestarian alam. Artinya, termasuk juga jika kegiatan itu sampai membuat ranting suatu pohon yang hidup patah, maka kita dikenai denda. Pernah pula seorang jemaah yang tanpa sengaja jari tangannya tertusuk duri hingga berdarah, maka jemaah itu dikenai denda juga. Jadi, selama beribadah haji itu, kita dilarang menyakiti alam dan menyakiti diri sendiri, walau tanpa sengaja.
Di tepi kuburan Baqi', yang sibuk oleh para jemaah yang menziarahi makam Usman bin Affan r.a., di antaranya juga sibuknya para penjual makanan burung. Para jemaah membeli biji-bijian itu dan menebarkannya ke kerumunan merpati, maka berebutanlah burung-burung itu dengan ramainya. Sementara itu kita juga tidak boleh membawa batu-batuan atau tanah maupun segala sesuatu benda dari Tanah Suci, untuk dibawa pulang ke Tanah Air. Bahwa alam dengan segala isinya, harus tetap dipertahankan seutuhnya, supaya dapat diwariskan kepada anak cucu dengan sebaik-baiknya. Manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda, merupakan satu kesatuan, yang harus lestari sepanjang semesta membentang.
Jika kita memelihara kelestarian alam -- terasa sekali kita mencarinya dalam keseimbangan tawaf -- maka hal itu merupakan sebagus-bagusnya warisan bagi anak cucu di kelak kemudian hari.
Imam Abu Hanifah dan Haji
By Ali Audah
Ketika melaksanakan ibadah haji, orang akan meninggalkan segala atribut dunia dan akhirat, akan menghindari sikap sombong, entah dia birokrat, ilmuwan, cendekiawan, konglomerat, seniman, artis, pedagang, ulama, kyai, dan lain-lain. Mengenai hukum fikih, sudah jelas kalangan ulama tak perlu bertanya-tanya, apalagi kepada orang yang dianggapnya lebih rendah ilmunya. Ini, karena ia tahu seluk-beluk hukum agama melebihi orang lain.
Hanya saja, sebagian mereka itu hanya tahu teori, bukan pengalaman, karena belum sampai pada praktek. Mungkin mereka sudah berguru cukup lama dan sudah membaca kitab-kitab fikih tentang haji cukup banyak. Mereka sendiri belum pernah ke Mekkah, belum naik haji. Karena itu, meski kita di kampung mungkin dipandang sebagai guru, ustad, khatib, imam, ulama, dan sebagainya, dalam melaksanakan ibadah haji ada baiknya kita bersikap lebih rendah hati, tak perlu segan bertanya jika ada pelaksanaan hukum yang kurang jelas. Maklum, melaksanakan ibadah haji tidak seperti ibadah lain, hanya sekali seumur hidup. Mungkin saja apa yang sudah dipelajarinya mudah lupa.
Dalam hal ini barangkali kita patut bercermin kepada Imam Abu Hanifah, seorang mujtahid dan pendiri mazhab Hanafi, ulama besar pada zamannya. Sampai sekarang ia diakui kebesarannya. Jutaan pengikutnya. Ia menceritakan beberapa kesalahan yang dilakukannya ketika melaksanakan ibadah haji, sehingga dalam beberapa hal ia harus dituntun oleh seorang tukang cukur.
Ia menceritakan pengalamannya sendiri dengan mengatakan: Aku telah membuat beberapa kesalahan dalam melaksanakan manasik haji. Ketika akan mencukur kepala, kepada tukang cukur aku bertanya, ''Berapa biaya cukur kepala?'' Dia balik bertanya, ''Anda orang Irak?'' ''Ya,'' jawabku. ''Duduklah,'' katanya. ''Dalam melaksanakan ibadah haji tak boleh tawar-menawar.'' Aku pun duduk.
''Balikkan mukamu ke kiblat,'' katanya mengajarkan, melihat aku duduk tanpa menghadapi kiblat. Setelah perintahnya kulakukan, aku ingin ia mulai mencukur dari bagian kiri. Tetapi dia berkata, ''Putarkan kepalamu ke bagian kanan.'' Kuputarkan kepalaku. Sementara dia sedang mencukur aku duduk diam saja, membisu. Tetapi dia berkata lagi, ''Bertakbirlah.'' Aku pun bertakbir. Sesudah selesai, aku berdiri, akan pergi. Tetapi dia masih bertanya, ''Mau ke mana?''
''Akan pergi,'' jawabku lugu. ''Salat dulu dua rakaat. Setelah itu, pergilah,'' perintahnya. Apa yang kualami ini tak mungkin keluar dari pikiran orang tukang cukur seperti ini. Lalu kutanyakan kepadanya, ''Semua yang Anda perintahkan kepadaku itu, dari mana Anda belajar?'' ''Aku melihat Ata' bin Abi Rabah melakukan semua itu.'' Memang, dalam bercukur harus dimulai dari bagian kanan, kemudian ke kiri dengan menghadapi kiblat, bertakbir, dan sesudah selesai, salat (Fiqhus Sunnah).- ah